Perbandingan Yesaya 1 dengan Qs Al-Alaq 1-8

1 komentar
sebelumnya Duladi (penghujat Islam)menantang memperbandingkan ayat AlQur’an dan Alkitab di situsnya


duladi menulis:

Karena Alquran adalah sebuah kitab yang isinya tak lebih dari kumpulan perkataan-perkataan, maka alangkah baiknya bila kita mencoba membandingkan Alquran dengan salah satu kitab saja yang ada dalam Bibel (karena Bibel terlalu luas bila coba dibandingkan dengan satu kitab Alquran). Bibel tidak hanya berisi kumpulan perkataan, tapi juga berisi kisah sejarah masa lampau. Maka dari itu, akan sebanding bila Quran coba kita perbandingkan dengan kitab nabi Yesaya, bagaimana Romadi?

Yesaya 1:2. Dengarlah, hai langit, dan perhatikanlah, hai bumi, sebab TUHAN berfirman: "Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku.
Yesaya 1:3 Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya."

Coba kita buka ayat pertama dari Al-Alaq ayat 1 & 2:

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah."


===================
id Amor / romadi menjawab

Akan saya layani “Tantangan” anda sesuai ayat yang anda pilih diatas! = sebelumnya saya tantang untuk memperbandingkan secara teratur Duladi (penghujat Islam) nggak punya nyali, dan sekarang ia pilih-pilih ayat untuk di bandingkan dengan ayat yang pertama kali di wahyukan!!

Sekarang kita bandingkan dengan Qs Al Alaq 1-8

1. kita bandingkan isi/muatan perintahnya:

AlQur’an memerintahkan membaca, kemudian mengenali betul apa asal-usulnya = jangan hanya menangkap secara “mentah” ungkapan ini,sebagai contoh penilaian mentah adalah tulisan seperti ini!


Duladi menulis

***Info seperti ini adalah informasi yang sudah basi, siapapun tahu kalau manusia terlahir dari segumpal darah di dalam rahim ibu.

Kalau kita mau tilik kesinkronan atau hubungan antar ayat, seperti kalimat pertama dengan kalimat kedua tak ada hubungan yang logis. Ibaratnya ucapan orang yang sedang mabuk, asal ngoceh dan asal mengaitkan kalimat yang dirasa indah menurutnya, padahal kalau didengar oleh orang lain yang mendengarnya akan terasa janggal dan tak bermutu.***

Romadi respon :

tulisan yang saya kutip diatas sangat jelas sekali betapa mentah dan piciknya akal orang yang menilai seperti itu! = ia hanya melihat dari kulitnya saja!

Perintah ini ditangkap secara dangkal dan picik hanya sebatas itu! Ia sama sekali tidak berfikir banyak orang yang tahu bahwa ia adalah berasal dari rahim ibu dan segumpal darah tetapi berapa banyak yang lupa diri dalam memahami asal-usulnya tersebut!

Sikap lupa diri membuat ia bersikap angkuh,sombong ,merendahkan sesama!
Karena kalau ia sadar betul akan asal usulnya maka apa yang akan ia sombongkan?
Karena ia hanya berasal dari sesuatu yang menjijikkan!

Maka dalam hal ini siapa yang jelas-jelas seperti orang mabuk dan hanya sekedar mengoceh? Karena kenyataannya antara yang ia tanggapi dan tanggapannya sangat jauh sekali konteksnya!
Maka pernyataan duladi tersebut seperti ia sedang menceritakan dirinya sendiri,yang sedang ngoceh dan seperti orang mabuk nggak karuan!

kita lanjutkan tentang hikmah/hikmat Qs Al-Alaq.

Perintah pertama kali adalah membaca bukan mendengar,mengatakan.mengakui dll

Apa hikmat dibalik perintah “baca” kita perhatikan betul makna baca!

Baca adalah :1 memperhatikan dengan apa yang ia mampu sehingga ia tahu apa yang ia lihat = kalau ia punya mata “fisik” yang normal maka ia harus memperhatikan betul yang ia lihat, sampai ia mengerti betul apa yang ia lihat! Apakah itu berbentuk kejadian-kejadian,peristiwa,huruf-huruf dll = yang akhirnya ia akan mendapatkan pengetahuan dari apa yang ia lihat!

Maka kalau mata”fisiknya” tidak berfungsi dengan sebagaimana mestinya ! maka ia bisa membaca dengan “rabaan” karena ia masih punya “mata hati”! kekurangannya masih bisa teratasi dalam ia mendapatkan pengetahuan! Masih bisa Membaca apa yang ia sentuh = bisa membaca huruf braile

Tetapi sekarang kita bandingkan secara spesifik perintah “baca” dan “mendengar” dalam konteks perbandingan Qs Al-Alaq dan Kitab Yesaya!

Kalau orang yang pendengarannya/telinganya tidak berfungsi sebagaimana mestinya apakah ia bisa menggunakan “pendengaran lain”?

Maka rasanya kalau orang yang telinganya tidak berfungsi tidak berfungsi sebagaimana mestinya ,apakah ia bisa mendengar untuk mendapatkan pengetahuan lain,selain dengan cara membaca? (membaca bahasa isyarat)

Ternyata dalam hal perbandingan soal “baca” dan “mendengar” ternyata kandungan kata membaca lebih mendalam hikmat/hikmah yang bisa di ambil

Setelah perintah “baca” sebagai jalan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan,maka ada bagian selanjutnya yang sangat penting dari perintah baca,yaitu dalam hal “membaca/ mendapatkan ilmu” harus dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan.

Hikmat/hikmahnya apa?

Subtansi pesan petingnya adalah “ ingat kepada Tuhan yang menciptakan”,yaitu ungkapan : dengan nama Rabb(Tuhan) yang menciptakan!

Maka sebuah hikmat pentingnya sebuah keseimbangan antara “Fikir” dan “Dzikir” antara akal dan hati = antara menganalisa dan memahami sesuatu harus diimbangi bahwa semua ini ada yang menciptakan= berfikir tetapi diimbangi kesadaran bahwa semua ada yang menciptakannya!

Maka keilmuan yang ia dapat semestinya semakin mendekatkan dirinya kepada “Sang pencipta” bukan sebaliknya.

Sebuah analisa dan pencarian ilmu yang “liar” sehingga menjauhkan ia kepada “sang pencipta”!

Sekarang kita lanjutkan pada ayat ke duanya!

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

apa hikmahnya?

Persoalan utamanya bukan persoalan tahu atau tidak tahu tetapi apakah ia memahami apa hikmat mengenai hal itu!

Yaitu sebuah penyadaran/mengingatkan bahwa manusia berasal dari sesuatu yang menjijikan,hina yang seperti tidak berarti dll.

Pesan ini adalah pesan “agar tahu diri akan siapa dirinya” bukan sikap lupa diri,karena dengan sikap tahu diri maka ia akan menjauhkan sikap kesombongan,keangkuhan, membangga-banggakan asal usul keturunan!

Karena berasal dari manapun anda apakah keturunan Ningrat,rakyat jelata,orang miskin,orang kaya, dari bangsa Israel,Eropa,Asia,Arab dimata Tuhan tidak ada yang lebih ,yang membedakan adalah : “ketakwaan”sikap tunduk dan patuh akan perintah-perintah dari Tuhan, sebagaimana di ayat lain:

13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

setiap manusia diberikan kelebihan dan kekurangan, tetapi semua adalah ujian!
di beri kelebihan diuji akan “rasa syukurnya” kepada Tuhan akan karunia kenikmatan yang telah ia terima, tetapi saat iadi berikan kekurangan adalah diuji “kesabarannya”

justru manusia yang suka membangga-banggakan asal-usul, merendahkan berdasarkan asal-usul yang manusia tidak punya hak pilih dan tak pernah memilih dilahirkan dari mana!

Apakah ada orang yang menjadi orang Arab karena sebelumnya ia memilih sebagai Arab?
Apakah ada orang yang menjadi orang Israel karena ia memilih sebagai orang Israel?
Apakah ada orang yang menjadi orang cina karena ia memilih jadi orang cina?
Apakah kita yang sekarang ini sebagai bagian warga Negara Indonesia sebelumnya pernah memilih sebagai orang Indonesia?
Dll

Rasanya tidak pernah bukan??
Jadi kalau ada manusia yang begitu apriori terhadap sebuah bangsa maka secara sadar ia mengikuti langkah-langkah syetan, karena kebanggaannya terhadap asal-usulnya dan bersikap meremehkan/melecehkan orang lain hanya berdasarkan asal-usul yang ia dan orang tersebut tidak pernah memilih dari mana ia berasal!

Dan sikap kebanggaan tersebut membuat ia enggan tunduk dan patuh akan perintah Tuhan maka ia tak layak berada di Syurga = harus terusir!!!

Makhluk yang sudah berada di syurga sombongpun harus di usir/tidak layak disana apalagi manusia yang penuh dengan dosa dan kekurangan masih menyombongkan diri,maka ia sangat tidak layak untuk mendapatkan sebuah “Kenikmatan Abadi”

Maka soal ini sangat sesuai sekali dengan pesan nabi Muhammad:

“ tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan.walaupun hanya secuil”

jadi begitu aneh dan konyolnya ada orang yang “menuduh” bahwa Islam mengajarkan kesombongan,yang hanya didasari pemahaman dan pengetahuan yang dangkal serta picik soal Islam!

Sekarang kita lanjutkan lagi dalam ayat 3-5

3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Kembali lagi ditegaskan untuk “membaca” kalau sebelumnya penyadaran akan asal-usul dan senantiasa ingat Tuhan sebagai Pencipta,maka kelanjutannya adalah soal “ manusia yang pada awalnya “tidak mengetahui apa-apa” karena Kemurahan Tuhan maka manusia jadi tahu = mendapatkan/mempunyai ilmu yang diberikan melalui Kalam/perantara

Tetapi bagaimana sikap dan tanggapan manusia akan “Kemurahan Tuhan” tersebut?

Bisa kita lihat ayat berikutnya:

6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
7. karena dia melihat dirinya serba cukup.
8. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).

Setelah manusia mendapatkan Kemurahan Tuhan ternyata justru sikapnya melampaui batas = bersikap berlebih-lebihan!

Manusia kebanyakan lupa diri saar diberi kelimpahan kenikmatan karena merasa bahwa apa yang di ketahuinya sudah cukup!
Untuk membuat kesimpulan-kesimpulan yang sangat-sangat jauh dari kebenaran, dan ia membangga-banggakan apa yang ia ketahui sehingga,
ia tidak segan-segan mencaci maki hukum-hukum Tuhan!
Menyalahkan ketentuan Tuhan dll

Manusia banyak yang tidak menyadari bahwa hidup didunia ini bukan abadi ada saatnya harus meninggalkannya dan harus kembali menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan setiap perbuataan yang ia lakukan dikehidupan dunia!

Sekarang kita bandingkan dengan kitab Yesaya

2. kita bandingkan siapa yang diperintah dalam ayat tersebut!

a. perbandingan pesannya untuk siapa?

Untuk lebih jelas lagi kita perlu perhatikan mulai ayat pertamanya

Yesaya 1:1
Penglihatan yang telah dilihat Yesaya bin Amos tentang Yehuda dan Yerusalem dalam zaman Uzia,Yotam,Ahas dan Hizkia,Raja-raja Yehuda.

Maka setelah kita memperhatikan betul maka akan sangat jelas bahwa Kitab yesaya bukan merupakan Firman Tuhan tetapi hanya pendapat Yesaya bin Amos!

Dan pesannyapun sangat jelas hanya untuk “sekelompok manusia” bukan pesan universal buat seluruh manusia!

Jadi sampai disini saja akan ada pertanyaan:
Apakah orang-orang yang membangga-banggakkan (Duladi) kitab ini orang Israel?
Atau keturunan Israel?

Bukan keturunan bangsa lain(non Israel) yang diilustrasikan “ANJING” oleh Yesus?

QS al-alaq sangat jelas sekali bahwa yang diperintahkan membaca adalah “manusia”
Sedangkan dalam Yesaya 1:2-3 yang diperintah langit dan bumi,maka dalam hal ini saja sangat jelas Al Qur’an lebih jelas dan tegas bahwa ayat ini untuk manusia,tetapi dalam Yesaya 2-3 hanya melihat ayat yang anda sampaikan juga jelas dan tegas bahwa yang diperintah mendengar adalah langit dan bumi=

Maka apakah Duladi dan Romadi termasuk golongan manusia ataukah Bumi/langit??

b. perbandingan dalam menggunakan ilustrasi

perhatikan Yesaya 1:3

Yesaya 1:3 Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya."

Dalam ilustrasi yang disampaikan Yesaya bin Amos tersebut,mengilustrasikan soal “pengenalan lembu dan Keledai terhadap Tuannya dan Palungan yang disediakan =subtansi pesannya adalah soal kenal/tidak lupa.

Apa hikmah yang dibangga-banggakan Duladi kalau ilustrasi ini lebih baik/lebih hebat dibandingkan soal ilustrasi didalam alQur’an akan pentingnya asal-usul,dan harus didasari dengan menyebut namanya?

Kalau sebuah perintah yang harus didasari akan menyebut namannya maka ini tidak sekedar kenall atau tahu siapa “penciptanya” tetapi lebih dari itu .yaitu “CINTA” kepada Tuhan penciptanya sepenuh hati tidak sekedar mengenal seperti “LEMBU DAN TUANNYA” atau tidak sekedar kenal seperti “KELEDAI DENGAN PALUNGANNYA”!

Maka sangat jelas dalam hal ilustrasi ternyata kata yang digunakan didalam AlQur’an lebih mendalam Hikmatnya.

Kesimpulannya:

Setelah memperbandingkan kedua versi ayat yang ada di dalam AlQur’an dibandingkan di Alkitab maka sangat jelas sekali perbedaannya!
Justru tuduhan-tuduhan Duladi rasanya lebih pantas untuk yang ia banggakan!
Perbedaan antara yang berasal dari Tuhan dan berasal karangan manusia memang akan sangat jelas perbedaannya!

=============

duladi menulis

Itukan karena otak para muslim yang telah didoktrinasi secara sesat? Siapa bilang Alquran berasal dari Tuhan? Dan atas dasar apa muslim menuduh kitab Yesaya sebagai karangan manusia?

Oke, ini pertanyaan mendasar. Dari mana Anda bisa membuktikan bahwa Alquran berasal dari Tuhan?

Jawabannya adalah: Dari mulut Muhammad yang bilang.

Karena Muslim tidak bisa memberikan bukti atas klaim-klaimnya tersebut, maka satu-satunya jalan adalah dengan menguji isi dari kitab masing-masing, mana yang menurut logika paling sesuai dan bisa diterima sebagai "Berasal dari Tuhan".

Muslim percaya kalau surat Al-Alaq adalah ayat-ayat pertama yang diturunkan oleh Awloh.
Surat Al-Alaq tersebut antara lain:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
6. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas,
7. karena dia melihat dirinya serba cukup.
8. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali(mu).

Kalau kita meresapi kata-kata dari surat Al-Alaq di atas, layakkah itu sebagai ucapan-ucapan Tuhan? TIDAK!
***********

Romadi respon :

dalam hal ini saya akan ringkas bantahan Duladi diatas

1. mevonis bahwa penjelasan dari Muslim hasil dari doktrin
2. karena hanya beralasan sumbernya hanya dari Muhammad saw
3. karena dirinya tidak meresapi maka harus ditolak

dari ketiga point bantahan diatas adakah argumantasi yang bersikap obyektif untuk membuktikan bahwa yang di uji tersebut firman Allah atau tidak?

atau penilaian tersebut sangat kental nuansa subyektifitasnya?

kalau argumentasi tersebut memang obyektif maka kita harus memperhatikan / memberikan bantahan hanya pada argumentasinya saja,tetapi kalau penilaiannya bersikap sangat subyektif maka tidak salah kalau kita perlu kupas tuntas "pribadi" penilainya!

dengan kriteria seperti ini apakah ada yang tidak setuju?

logika Duladi yang pertama,sama sekali tidak ada argumentasi yang berarti karena sudah "menjudge" seperti itu maka apapun penjelasan /apologi dari pihak Muslim
tidak akan berarti karena dasarnya bukan logika dan hati nurani tetapi berdasarkan "emosi"

logika yang kedua,logika tersebut juga tidak jauh beda karena dasarnya percaya dan tidak percaya,apakah Nabi Muhammad itu nabi atau bukan!

kalau didalam pikiran dan hatinya "sudah tertanam" bahwa Nabi Muhammad bukan nabi maka apapun penjelasan tidak akan berarti ,soal tersebut sama meyakinkan orang yahudi untuk mengakui Yesus Almasih atau bukan!.

logika yang ketiga yaitu berdasarkan "subyektifitas" pembaca meresapi atau tidak, argumentasi ini juga sama sekali jauh dari penilaian obyektfitas,justru cara logika ini perlu diingatkan dengan pesan yesus!

7:6 "Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu."

sebuah ilustrasi yang yang menarik untuk menguji argumentasi duladi tersebut!

kenapa Anjing dan Babi mengoyak-oyak sesuatu yang Kudus dan berharga??
karena ia tidak tahu kalau yang dikoyaknya tersebut barang yang perlu dihormati dan sangat berharga!

ini sama dengan Manusia yang karena tidak tahu dan tidak mau tahu mengoyak-oyak sesuatu bukan berdasarkan pengetahuannya tetapi berdasarkan ketidak tahuannya ,karena ia tak sanggup meresapinya

Duladi menulis

Sebelumnya di topik lain, saya telah berusaha mencerahkan bahwa yang dimaksud dengan kata 'bacalah' di situ adalah keinginan Muhammad agar para pengikutnya mau atau bersedia membaca kitab karangannya.

Memang, di saat Muhammad menuliskan ayat pertama tersebut, Alquran belum berbentuk. Tapi ini sebagai suatu awal, dan ini sudah direncanakan oleh Muhammad secara matang, bahwa mulai dari saat ini dan seterusnya dia akan terus memunculkan ayat-ayat baru sampai akhirnya terwujud cita-citanya dalam menciptakan sebuah kitab suci.

Jadi kata "bacalah" di awal-awal kitabnya tersebut adalah sebagai suatu PERMINTAAN dari Muhammad agar kitabnya dibaca, seperti orang-orang Yahudi yang gemar membaca
Taurat dan orang-orang Nasrani membaca Injil.


Jawab

Dalam hal ini Duladi menganggap bahwa kata “bacalah” hanyalah agar orang bersedia membaca kitab alQur’an!

Maka pertanyaan yang mesti dijawab oleh Duladi adalah

1. dari mana anda bisa menyimpulkan seperti itu? Apakah berdasarkan bukti-bukti yang nyata atau hanya fantasi anda?

a. kalau kalimat baca tersebut untuk memerintahkan orang lain membaca “kitabnya” kenapa saat itu justru jawaban pertama adalah “kebingungan” apa yang mesti dibaca?

b. kalau kalimat baca agar orang bersedia membaca kitabnya kenapa pada saat itu Nabi harus ketakutan??

c. kalau kalimat “baca agar orang membaca kenapa harus mencari tahu kepada “Waraqah bin Naufal” tentang makna pertemuan dengan Jibril pertama tersebut?

Sekali lagi saya mengharapkan diskusi ini berdasarkan bukti / argumentasi yang berdasar bukan argumentasi yang berdasarkan asumsi dan fantasi!

Maka saat ini saya ingin tahu apakah dalam hal ini Duladi menyimpulkan seperti itu berdasarkan bukti atau hanya asumsi!

Pembaca yang akan menilai!!
++++

Duladi menulis

Muhammad begitu terpesona oleh kemampuan orang-orang Ahli Kitab yang hafal kitab suci mereka di luar kepala seperti mengenal anak-anaknya sendiri. Ini terungkap dalam ayat Quran yang dia buat:

QS 6:20
Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepadanya, mereka mengenalnya seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.

Dan dari konteks ini pula akhirnya kita jadi mengerti mengapa Muhammad meminta para pengikutnya menghafal ayat-ayat yang dia diktekan. Setidaknya, ini adalah salah satu cara dia untuk menandingi orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mampu menghafal ayat-ayat kitab mereka di luar kepala seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri.


Romadi Jawab

Muhammad terpesona kemampuan Ahli kitab yang menghafal Kitab diluar kepala??

Darimana anda bisa membuat kesimpulan seperti itu?

apakah ada Ahli Kitab saat itu yang hafal diluar kepala Isi Alkitab?

Dan kemudian Duladi coba mengaitkan soal tersebut dengan Qs 6:20

Tetapi sebaiknya Duladi memperhatikan betul ayat selanjutnya yaitu ayat 21

21. Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang aniaya itu tidak mendapat keberuntungan.

Tuduhan bahwa AlQur-an hanyalah karangan Muhammad dengan mengutip ayat tersebut tetapi di ayatselanjutnya sangat jelas sekali bahwa orang yang membuat kedustaan/kebohongan tentang Allah adalah orang yang aniaya dan merugi ?
= ada orang yang berbuat kesalahan tetapi kemudian menjelaskan dampak dari orang yang berbuat kesalahan tersebut adalah aniaya dirisendiri dan merugi??

Maka tuduhan tersebut bukan tuduhan yang punya dasar? Atau tuduhan yang hanya berdasarkan tendesius semata….. maka saatnya anda menjelaskan!!

Dan Duladi mengulangi lagi tentang soal “hafalan luar kepala” pada saat itu?
Sekali lagi apakah Duladi bisa membuktikan argumentasinya atau ia hanya sedang berfantasi/berasumsi saja…..?????
++++++

Duladi menulis

Romadi berusaha menjelaskan makna kata "bacalah" memakai pendekatan-pendekatan yang miring dan dibuat-buat agar tampak seolah ayat tersebut memiliki makna yang dalam.

Kalau dia mengatakan membaca adalah suatu hal yang terutama dalam membentuk kebijaksanaan/hikmat adalah tidak benar. Sebab sebagian besar masyarakat di Timur Tengah tidak bisa membaca, dan mereka lebih mengandalkan pendengaran.

Jawab

Perhatikan betul argumentasi anda!!

Apakah anda sedang membantah dengan memperhatikan argumentasi atau hanya menilai”pribadi” yang dianggap menilai dengan pendekatan miring-miring?

Apakah anda bisa menjelaskan tentang “pendekatan miring-miring’?

Sebaiknya perhatikan betul perubahan yang terjadi di jazirah Arab pada saat sebelum kenabian Muhammad dan sesudah kenabian Muhammad!

Dari bangsa yang terkenal bodoh dan tidak dikenal dan sangat terbelakang kemudian menjadi seperti apa mereka?
Sebagai contoh konkrit:

Bagaimana seorang Umar bin Khatab yang sebelum kenabian/ Islam ia begitu bodoh sehingga tega mengorbankan anaknya sendiri dengan menguburkan hidup-hidup tetapi setelah keislaman ia menjadi Manusia yang begitu peduli kepada sesama bahkan saat ia menjadi pemimpinpun ia semakin peduli dengan nasib rakyat kecil!!.

Dan begitu banyaknya yang sebelum keislamannya begitu tidak pedulinya pada ilmu pengetahuan tetapi setelah keislaman mereka begitu haus akan keilmuan,maka kemudian banyak terlahir Ulama-Ulama yang Ilmuan dan Ilmuan yang Ulama setelah keislaman mereka! Maka banyak bermunculan para ahli dari timur tengah! Ahli Matematika,ahli kedokteran ahli perbintangan dll

Siapakah Al Jabar ,Ibnu Sina dll??

Dan apakah anda tahu siapa yang menggunakan angka 0(nol ) pertama kali? Apakah orang yunani (bangsa lain) atau orang arab/timur tengah?

Apakah anda masing menganggap bahwa perintah membaca hanya “membaca Al-Qur’an” saja?

Ringkasnya orang Arab yang sebelumnya tidak diperhitungkan kemudian termasuk kelompok yang diperhitungkan!

Bandingkan dengan apa yang terjadi pada “dunia Kristen” pada saat itu!
Apakah para Ilmuan di hormati atau mereka justru dihukum karena teorinya dianggap bertentangan dengan faham Gereja/ Al-kitab??

dan saya akan cerita sedikit tentang contoh kongkrit yaitu yang terjadi pada pribadi saya!

saya mungkin termasuk orang yang sedikit "tidak beruntung" karena punya latar belakang yang "tidak beruntung" (anggapan saya sebelum mengenal Islam) orang yang tidak punya misi dan visi hidup! sering minder karena sering disepelekan / diremehkan orang!

jadi kalau anda meremehkan saya ,maka saya termasuk orang yang sudah kenyang diremehkan orang pada masa anak-anak dan remaja!

jadi dalam menyikapi sikap meremehkan saya sudah tahu betul bagaimana caranya

walaupun saya terlahir dari orang tua Islam tetapi islam yang saya sebelum umur 18 tahun adalah Islam karena keturunan dan lingkungan,Islam sebagai budaya bukan islam sebagai Dien!

dan tentu saja mengalami proses yang sangat panjang (termasuk soal perbandingan agama Islam dan Kristen) hingga akhirnya mengenal Islam walau masih tahap awal,tetapi setidaknya perubahan yang sangat mendasar adalah perubahan semangat dalam mencari ilmu ,baik ilmu keagamaan maupun ilmu lain-lainya!

perubahan semangat hidup untuk berkarya baik untuk skala jangka pendek maupun untuk jangka panjang!

Romadi yang dulu rendah diri dan minder sudah dibuang jauh-jauh!

karena begitu manisnya merasakan keindahan Islam yang begitu besar merubah semangat dalam pribadi saya hingga saya pernah protes kepada orang tua,yaitu protes kenapa tidak dari dulu-dulu saya mengenal islam ,coba kalau mengenal islam sejak kecil mungkin akan berbeda (dan saya akui ini protes yang salah)!

menyadari kesalahan bahwa protes tersebut tidak benar maka semakin bersemangat untuk semakin menggali potensi diri, mengejar ketertinggalan yang selama 18 tahun tidak menggunakan waktu sebaik-baiknya.

dan sampai saat inipun saya merasa masih tarap belajar agar bisa lebih baik dan terus lebih baik!

dan sebagai tambahan ada pendidikan yang sangat membekas dari orang tua yaitu didik secara keras dan tegas tetapi komunikatif dan pendidikannya adalah bahwa setiap tindakan harus punya alasan dan argumentasi yang kuat dalam menentukan setiap pilihan dan tindakan = dilarang keras melakukan sesuatu yang hanya atas dasar ikut-ikutan semata apalagi "membebek buta" pendapat orang !

dan dengan mengenal Islam tersebut akhirnya mampu merubah dan memberi motivasi yang kuat akan haus ilmu pengetahuan!

jadi argumentasi-argumentasi saya bukan atas dasar "copy paste / membebek pendapat seseorang tetapi argumentasi selain berdasarkan suara hati nurani dan apa yang benar-benar saya rasakan.

penjelasan singkat / kesaksian tersebut hanya tambahan saja.

dan saya akan mengingatkan postingan anda!

sebelumnya anda menganggap bahwa perintah “baca” agar orang membaca Al-Qur’an tetapi kemudian anda menjelaskan bahwa orang Timur tengah saat itu banyak yang tidak bisa baca!

= apakah orang yang kebanyakan sekilingnya tidak bisa membaca tetapi kata "BACALAH" dianggap punya obsesi hanya untuk membaca kitabnya??

Apakah pernyataan anda tersebut tidak mementahkan tuduhan anda sendiri sebelumnya??


1. duladi menulis

Dalam konteks diskusi kita ini, adalah absurd apabila kita menghendaki adanya bukti-bukti riil dari apa yang kita klaim. Suatu misal: Anda mengatakan Muhammad 'kebingungan' di saat menerima kata 'bacalah'. Dari mana Anda tahu Muhammad bingung? Dari cerita Muhammad. Tentu, jawaban seperti ini subyektif, dan tidak bisa dijadikan pegangan untuk bukti.


********

romadi jawab

sebelumnya saya bertanya bukti adalah yang saya maksudkan bukti-bukti sejarah pada masa itu = argumentasi yang berdasarkan pijakan yang jelas bukan hanya asumsi,karena kalau hanya asumsi saja yang terjadi adalah debat kusir karena berbicara bukan atas dasar tetapi hanya sekedar berasumsi!

setidaknya pendapat-pendapat tersebut berdasarkan literatur yang jelas = bukan argumentasi asbun =asal bunyi!

dan kalau mau tahu seperti apa yang saya maksud bukti yang berdasar dengan senang hati saya akan memberi contoh!

****

Duladi menulis

Saya dan Romadi tentu masing-masing memiliki landasan berpikir yang berbeda:
1. Saya punya cukup bukti yang menguatkan bahwa Alquran bukan kumpulan ucapan Tuhan. Dan inilah yang mendasari tafsiran saya terhadap makna kata "bacalah" (suatu permintaan Muhammad agar kitabnya dibaca).
2. Sebaliknya Romadi, dia sudah telanjur percaya (beriman buta) kalau Muhammad benar-benar menerima wahyu dari Tuhan. Sehingga apapun yang dikatakan oleh Muhammad akan Romadi telan mentah-mentah tanpa ada rasa curiga sedikit pun, dan akan selalu berusaha mencari-cari maknanya.
*********


Romadi jawab

dul apa yang anda ringkas tersebut sedang menyerang pribadi nggak?? = hanya menonjolkan persoalan pribadi atau murni argumentasi??

sehingga anda menggunakan "terlanjur percaya = beriman buta" ?

buat Admin

ungkapan seperti termasuk kriteria yang akan anda hapus atau tidak ?
karena akan menyebabkan persoalan lebih mengarah pada persoalan pribadi / pertengkaran???

saya mohon penjelasannya agar saya bisa melakukan sesuatu sesuai koridor yang anda buat!! (walaupun ini di thread berbeda dari thread yang disediakan khusus untuk saya dan Duladi!!)

****

Duladi menulis

Saya sudah mencoba mengikuti landasan berpikir Anda, dan sama-sama mencoba meyakini bahwa surat Al-Alaq adalah ayat-ayat kiriman dari Tuhan. Tetapi ada banyak kejanggalan dari perkataan-perkataan itu, yang menyebabkan ayat tersebut tidak bisa diyakini sebagai perkataan Tuhan:

1. Kalau itu kata-kata Tuhan, seharusnya menggunakan kata ganti orang pertama (Aku). Tetapi dalam ayat tersebut, si pembicara memakai kata ganti orang ketiga (Dia) untuk menyebut Tuhan.

2. Kata-kata yang disampaikan lebih mengarah kepada ucapan-ucapan bijak dari seorang manusia daripada kata-kata pengetahuan dari Tuhan. (Bandingkan dengan kata-kata bijak Nabi Sulaiman dalam kitab Amsal).

Apabila itu sekedar perkataan Muhammad, maka makna kata "bacalah" tidak lain adalah untuk tujuan terselubungnya yang telah lama dia rencanakan, yaitu membuat kitab suci.

Sebab, firman Tuhan berbentuk kata-kata, bukan teks. Firman Tuhan diterima lewat pendengaran, bukan lewat pembacaan, kecuali bila firman itu dituliskan dalam bentuk huruf-huruf untuk dibaca di kemudian hari

*********


Romadi jawab

setelah memperhatikan penuturan anda ini sepertinya sudah semakin jelas seperti apa
kriteria anda mengenai "Firman Allah"

1. harus menggunakan kata orang pertama
2. kalau Tuhan disebut sebagai orang kedua apalagi ketiga maka itu bukan firman Tuhan

benar nggak ringkasan saya? kalau nggak benar sebaiknya dikoreksi seperti apa kriteria Firman menurut anda dengan patokan penjelasan tersebut!

dan sebaiknya kriteria yang anda buat tersebut sebaiknya anda gunakan untuk menilai / mengukur alkitab sebagai firman Allah atau tidak! = sebelum mengukur kitab lain!

apakah didalam Alkitab Allah sering disebut sebagai orang pertama= aku atau sebagai orang kedua atau ketiga ?



Duladi menulis

Kita tentukan, bahwa yang dijadikan pijakan di sini adalah:
1. KITAB SUCI MASING-MASING (Quran, Hadist, dan Alkitab).
2. ARGUMENTASI/PENAFSIRAN YG MASUK AKAL TERHADAP SUMBER-SUMBER DI ATAS.

Kenapa saya untuk sementara mengabaikan catatan-catatan lain di luar sumber-sumber itu?

Begini.

Seandainya saya, dalam apology yang saya buat, saya menampilkan tulisan bapa-bapa Gereja, apa Anda percaya? Tentu Anda tidak akan percaya, dan akan mengatakan tulisan-tulisan Bapa Gereja itu sudah dipalsukan oleh pihak gereja, terutama oleh Kaisar Konstantin di abad ke-4 dan Gereja Katolik (Paus) di abad-abad berikutnya.
Romadi jawab

point no 1. saya setuju
point no 2 perlu diperjelas karena akal dan logika bersikap netral maka hendaknya kalau bersandar kepada yang anda sebutkan maka hendaknya dalam penafsiran tersebut bukan penafsiran sepotong-sepotong!

karena penafsiran sepotong-sepotong lebih cenderung hanya menyampaikan "pembenaran bukan kebenaran"

sedangkan untuk tentang tulisan-tulisan lain (bapa gereja dll) itu juga bukan masalah untuk dijadikan argumentasi demikian juga sebaliknya!

justru dalam hal ini kita menghindar dari sikap penilaian percaya atau tidak percaya,karena kalau dasar diskusi hanya soal tersebut sampai kiamat diskusi tidak akan ada gunanya karena akhirnya ilmu pengetahuan hanya menjadi pembenar :percaya atau tidak percaya saja!

dan yang paling penting yang dibahas itu soal apa??? kalau soal Kristen maka hendaknya berdasarkan literatur Kristen sedangkan soal Islam Literatur Islam!

persoalan ini sangat penting karena persoalan literatur seperti "bahasa" maka bahasa yang digunakan adalah bahasa yang nyambung!

karena kalau bahasa tertentu di pahami dengan bahasa lain maka hasilnya tidak sesuai dengan makna sebenarnya!

sebagai contoh kalau saya mendiskusikan soal "penyaliban yesus" maka saya harus beragumentasi dengan literatur Kristen,baik al kitab,tulisan-tulisan bapa gereja dll

sebaliknya kalau anda mau mempersoalkan soal "sejarah muhhammad" maka hendaknya juga begitu!

itulah diskusi yang berdasarkan bukti bukan diskusi hanya berbantah-bantahan tanpa dasar,apalagi hanya berdasarkan asumsi dan fantasi saja!!

dan yang terpenting adalah!!(ini bukan menyerang pribadi anda tetapi mengingatkan kepada siapa saja termasuk saya)

mempersoalkan,membantah,menjelaskan itu mudah kalau semua hanya dilakukan sekedarnya/asal-asalan!

tetapi bagaimana mempersoalkan dengan argumentasi dan dasar yang kuat,membantah dengan argumentasi yang punya dasar yang kuat apalagi menjelaskan dengan argumentasi yang dasar yang kuat itu membutuhkan energi yang sangat banyak,karena dibutuhkan keluasan ilmu dll

dan inilah yang saya harapkan karena bisa bermanfaat buat "pelaku diskusi" maupun pembaca dan penonton diskusi!!

dan kita lihat saja siapa yang mampu seperti itu!

****

sebelumnya saya mengingatkan soal "menyerang pribadi"
dengan menulis

dul apa yang anda ringkas tersebut sedang menyerang pribadi nggak?? = hanya menonjolkan persoalan pribadi atau murni argumentasi??
sehingga anda menggunakan "terlanjur percaya = beriman buta" ?

Tanggapan duladi:

Okelah, saya mohon maaf. Apakah permintaan maaf saya ini masih kurang?

*********
Romadi jawab

persoalannya adalah yang membuat aturan soal itu adalah anda sendiri,jadi kenapa anda harus minta maaf kepada saya??

saya mengingatkan soal ini adalah ingin tahu apakah Admin / anda konsisten dengan aturan yang dibuat sebelumnya??

apakah komitmen yang dibuat sebelumnya kalau ada yang mempostingkan "menyerang pribadi harus minta maaf atau ada "sanksi lain"???

dan apakah hanya postingan itu saja??

bagaimana dengan postingan ini??


****


DUladi menulis :


Ha ha ha ha.....
Anda ini sedang mengulas atau sedang ngejreng?

Kalau Anda tidak pernah membaca kalimat-kalimat sajak, sebaiknya Anda harus memperdalam lagi wawasan Anda tentang bahasa.

Bila saya berdebat dengan Anda, saya ibarat sedang berbicara atau mengasuh seorang anak SD kelas 1.

******
Romadi jawab

sebelumnya saya sudah saya sampaikan silahkan kalau anda mau menyerang pribadi saya ... dan saya tidak akan membalas tetapi akan mengingatkan = bukan protes!!

apakah postingan ini bagian dari argumentasi atau menyerang pribadi?? yang akhirnya memicu pertengkaran??

silahkan anda nilai sendiri karena anda yang membuat aturan!

sedangkan saya kan tamu...yang diundang!!!

jangan anggap ini "protes" tetapi anggaplah bahwa ini untuk mengingatkan terhadap komitmen yang dibuat sendiri!!

semoga anda mengerti!!








menjawab soal syurga

2
seringkali para misionaris mempersoalkan syurga versi "Islam" yang menawarkan kenikmatan-kenikmatan yang memanjakan hawa nafsu ("kedagingan" menurut bahasa)
tak jarang tidak sekedar mempersoalkan namun banyak sekali artikel yang menyerang tentang masalah ini.


dalam hal ini saya coba menyampaikan jawaban pembuka dengan ilustrasi cerita yang menarik yang dibuat oleh seorang Muslim (sdr Archa,forum swaramuslim), yang menceritkan tentang "sorga Impian" menurut banyak orang

SURGA IMPIAN

Seorang Arab Badui bermimpi, diperlihatkan kepadanya gambaran surga. Si Arab betul-betul terpesona karena situasi yang terlihat memenuhi ‘dahaga terhadap kenikmatan’ dia sebagai manusia gurun, yang setiap hari melihat padang pasir dan batuan padas. Surga yang dilihatnya dalam mimpi berupa ‘jannah’, taman, kebun yang subur diisi pohon rindang, bunga yang harum dan embun dikala pagi. Dia menemukan banyak pohon buah-buahan siap dipetik, ada jeruk, apel, pepaya, semangka tergantung didahan yang merunduk seolah-olah mengundang untuk diraih. Tidak lupa didalam surga tersebut mengalir sungai-sungai nan jernih, alirannya menimbulkan suara gemercik yang menyegarkan.

Tatkala terbangun, si Arab merasa sangat bahagia dan dia bersyukur karena sebagai muslim Tuhannya telah memberikan gambaran surga begitu indah yang salah satunya tercantum dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah 25 : “…..bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu,….”

Pada suatu kesempatan, si Arab datang ke Indonesia untuk berlibur, dari berbagai kunjungannya ke objek-objek wisata, dia menyempatkan diri mengunjungi satu taman bunga di puncak. Tentunya dia sangat terpesona karena hal ini tidak pernah dilihatnya dikampung halamannya. Dengan penuh rasa bahagia si Arab menyapa seorang bapak penjaga taman : “ Indah sekali taman ini, seperti gambaran surga yang pernah saya impikan..”

Penjaga taman berpaling dengan rasa ingin tahu : “bagaimana gambaran surga yang ada dalam mimpi Anda?” tanyanya kepada si Arab. Berceritalah si Arab tentang mimpinya, bagaimana surga yang di lihat itu penuh dengan bunga-bunga dan buah-buahan beserta sungai-sungai yang mengalir di dalamnya..

Mendengar cerita tersebut, penjaga taman terlihat tidak begitu antusias, dia berkata : “Surga dalam mimpi Anda tidaklah mempesonakan saya, apa enaknya?? Saya disini sudah melihat bunga dan buah setiap hari, selalu menghirup udara segar dipagi hari, dan masalah sungai? Tahukah Anda rumah saya dekat dari sini, berada dipinggir sungai yang jernih, setiap bangun pagi saya selalu mendapatkan suara gemercik air, lantas apa enaknya surga seperti mimpi Anda?...”

“Kalau Anda ingin tahu gambaran surga yang saya inginkan” dia melanjutkan : “Lihatlah pengunjung-pengunjung itu, sebagian mereka ada wanita muda yang baru tumbuh, datang bersama keluarga ataupun rombongan. Banyak yang berwajah cantik, dibalut baju yang agak terbuka memamerkan bahu mereka yang putih. Mereka hampir semuanya memakai celana jin ketat, tergambar lekuk-lekuk pinggul mereka yang padat. Rasanya ingin sekali saya menerkam mereka satu-persatu, menyeret mereka kebalik pepohonan dan melakukan hubungan sex sepuas-puasnya. Sayang sekali saya tidak boleh melakukan hal itu, Islam melarang keras, malah kita diharuskan menjatuhkan pandangan kalau kebetulan melihat ‘panorama segar’ seperti itu. Hukum yang ada juga akan mengganjar saya kepenjara”. Si penjaga taman berkata lagi :” tahukan Anda surga seperti apa yang saya bayangkan?, isinya adalah perempuan-perempuan muda yang segar, berwajah cantik-cantik dan manja. Saya akan melakukan hubungan sex dengan mereka dan di surga tersebut, sex bebas dilakukan, tidak ada lagi ganjaran dosa.”

Pada suatu kesempatan. Si penjaga taman bercerita tentang surga impiannya kepada temannya, seorang lelaki penata rambut. Dia ceritakan bahwa dia ingin melakukan hubungan sex sesukanya, dengan wanita-wanita yang tersedia disana dan yang paling penting, hal itu tidak lagi menjadi dosa. Namun si penata rambut mencibir dengan gayanya yang kemayu, Ha.. rupanya dia seorang banci: “Saya tidak tertarik dengan surga Anda..”, dan berkata: “Surga yang dipenuhi wanita-wanita muda tidak akan membuat saya bahagia, justru yang saya inginkan adalah surga yang diisi oleh laki-laki tampan berbadan kekar, dadanya bidang penuh otot-otot yang kenyal. Tiap hari saya akan berkencan dengan mereka, ‘bersodomi-ria’, dan homoseksual tidak lagi diharamkan di surga…itulah yang saya impikan”.

“ Apa enaknya surga yang dipenuhi laki-laki tampan?, saya bisa mendapatkannya setiap hari di dunia”, demikian reaksi sang ‘tante girang’ begitu mendengar cerita si penata rambut tentang surga yang dia impikan. “tahukan Anda apa yang menjadi masalah saya sekarang?” dia melanjutkan : “lihatlah, usia saya sudah menjelang 50 tahun, sekalipun saya mati-matian merawat diri, indikasi ketuaan sudah mulai menyerang, kulit mulai bergelombang, lemak dipinggang datang tanpa permisi. Sekalipun saya sudah mengalokasikan anggaran ‘maintainance and repair’ dua kali lipat, namun saya pesimis bisa menahan hukum alam ini”. Suatu waktu nanti, laki-laki muda yang saya kencani akan menyingkir, mereka tentunya lebih memilih tante lain yang lebih muda. “Jadi surga yang saya impikan, adalah surga dimana saya tidak bisa menjadi tua, selalu remaja dan cantik abadi dan saya bisa memamerkan kecantikan abadi saya kepada orang lain dengan bangga”.

Tante girang tersebut kemudian bercerita kepada temannya, seorang wanita, bintang film cantik yang masih muda. Artis ini tertawa renyah mendengar surga impian sang tante, dia kemudian berkata : “ awet muda jelas menjadi keinginan saya juga, namun saya masih muda dan belum bisa merasakan bagaimana hebatnya mendapat serangan ketuaan seperti itu. Yang jelas sekarang saya ingin menikmati hidup sepuas-puasnya. Saya ingin berjalan-jalan keseluruh dunia, pagi hari saya sarapan di sebuah hotel mewah di London, sorenya berdiri memandang matahari terbenam di jendela cottage di Hawaii. Kalau lagi suntuk, saya menyepi di villa kepunyaan saya di Malibu, atau sebuah ‘penthouse’ di tengah kota Manhattan. Suatu saat saya akan menghabiskan duit, berbelanja di Ginza, Tokyo atau sekedar menikmati pergaulan di cafÈ-cafÈ Los Angeles dengan teman-teman artis-artis Hollywood. Begitu pagi hari saya terbangun, saya menemukan rekening saya di Bank telah bertambah karena bunga deposito, lebih besar jumlahnya dari uang yang saya habiskan kemaren”. Si artis melanjutkan angan-angannya dengan pandangan menerawang : “Sayang sekali saya tidak sekaya itu, jadi kalau Anda menanyakan surga seperti apa yang saya dambakan, seperti itulah, saya ingin punya harta yang tak terbatas dan saya bisa menikmatinya sepuas-puasnya”.

“Surga impianmu itu aneh”, demikian tanggapan Pak Konglomerat sambil rebahan di kasur hotel, setelah lelah berkencan dengan si artis. Mereka memang sering bertemu secara rahasia, mojok disuatu tempat tersembunyi. Buat keduanya hubungan yang mereka bangun sesuai kebutuhan masing-masing, suatu ‘simbiosis mutualisma’ demikian istilah biologinya. “Harta yang kamu mimpikan sudah saya punya”, dia melanjutkan, “ bahkan saat inipun saya tidak tahu berapa jumlah uang yang saya miliki karena setiap menit bertambah terus, saya punya rumah dimana-mana, villa di penjuru dunia, mampu membeli apapun yang saya inginkan. Namun lihatlah, ketika kita memesan makanan ‘room service’, saya harus memilih-milih dulu, kebanyakan menu yang tersedia tidak boleh saya makan. Mau nasi maksimum jumlahnya harus segenggam. Gara-gara kencing manis dan kolesterol, saya tidak bebas lagi menikmati apa yang saya miliki. Sampai mau kencanpun saya dihantui pikiran, apa saya ini masih perkasa??, Pak Konglomerat mengeluh :” maka surga yang saya impikan adalah tempat dimana saya tidak pernah sakit, selalu dalam kondisi prima dan segar. Tidak ada lagi pantangan makan, boleh beraktifitas semaunya, itulah surga buat saya”..

Pak Konglomerat bercerita tentang surga impiannya kepada seorang petinju, kebetulan sang petinju baru menyelesaikan pertandingan 12 rondenya, namun dia dipukul KO di ronde keempat. Dengan wajah lembam, si petinju mendengar cerita Pak Konglomerat sampai akhirnya dia menimpali : “Itu bukan surga saya, lihatlah, saya seorang yang berbadan sehat dan stamina prima. Tiap hari saya latihan keras meningkatkan kondisi, saya jarang sakit. Namun saya baru dihabisi oleh lawan saya yang lebih kuat, Cuma bertahan sampai ronde keempat”. Sambil meringis kesakitan si petinju berkata lagi : “ Surga yang saya impikan adalah kejayaan, suatu tempat dimana saya menjadi petinju tak terkalahkan sekalipun telah melakukan banyak pertandingan dengan jago-jago tinju termahsyur. Setiap lawan menggigil ketakutan begitu tahu akan berhadapan dengan saya. Dan ketika saya berjalan dikeramaian, semua mata memandang saya dengan kagum, beberapa malah menegur saya dengan memanggil ramah..hai Champ..!, itulah surga yang saya inginkan.”

Suatu ketika orang-orang ini bertemu, terjadi perdebatan hangat ketika mereka sampai kepada topik pembicaraan mengenai surga. Tentunya masing-masing bertahan dengan persepsinya sendiri terhadap apa yang mereka inginkan. Kelihatan bahwa akhirnya yang berada ‘diatas angin’ adalah si Arab badui, karena dia sering menyitir ayat-ayat Al Qur’an mengenai surga, bahwa surga adalah jannah (taman, kebun), makan buah-buahan sepuas-puasnya dan sungai-sungai yang mengalir. Merasa tidak puas, akhirnya mereka bersepakat untuk pergi mencari seorang ustadz menanyakan soal rumit ini.

Kebetulan ustadz yang pertama kali mereka temukan adalah seorang ‘ustadz tekstual’, tamatan madrasah ibtidaiyah di kampung, ‘ustadz kaki lima’ demikian menurut sebagian orang. Setelah semuanya menceritakan permasalahan dan pendapat mereka, giliran ustadz bingung karena ini betul-betul masalah yang tidak dia sangka-sangka dan belum pernah ditanyakan orang-orang sebelumnya. Namun sebagai seorang muslim tekstual, dia kemudian meraih Al-Qur’an dari rak buku dan berdo’a, mudah-mudahan Allah membuka pikirannya dan mampu memberikan jawaban yang benar. Kemudian sang ustadz membuka Al Qur’an, terbuka pada surat An Nahl ayat 31 :

“(yaitu) surga ’Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa”

Merasa belum puas, sang ustadz mencoba lagi membalik-balikan halaman Al Qur’an tersebut dan dia kemudian berhenti pada surat Al Furqaan ayat 16:

“Bagi mereka di dalam surga itu apa yang mereka kehendaki, sedang mereka kekal (di dalamnya). (Hal itu) adalah janji dari Tuhanmu yang patut dimohonkan (kepada-Nya)”

Karena sudah puas dan yakin akan bisa memberikan jawaban, Pak ustadz kita kemudian berkata : “Sekarang saya minta Anda semua berkonsentrasi dan pejamkan mata”. Agak terheran, mereka semua mengikuti perintah ustadz tersebut. “Sekarang bayangkanlah surga seperti apa yang kalian impikan” ustadz melanjutkan : “ Sudah…!?”, Mereka semua mengangguk karena sudah membayangkan kondisi seperti apa yang mereka inginkan di surga. Ustadz kemudian berkata : “ Nah.. apa yang sudah kalian bayangkan, kalikan sepuluh kali lipat, ketahuilah… kalian akan mendapatkan surga lebih dari itu,
karena dalam Al Qur’an, Allah telah berfirman sebanyak dua kali.. mereka akan mendapat segala apa yang mereka kehendaki…”

Entah apa yang terjadi selanjutnya, namun setelah peristiwa dengan sang ustadz tersebut, sangat ajaib karena mereka semua telah berobah. Si Arab Badui menjadi seorang yang sangat rajin beribadah bahkan orang-orang sering menemukannya tengah beriktikaf di Mesjidil Haram, shalat dan berdo’a sebanyak mungkin. Si penjaga taman berubah menjadi seseorang yang berusaha menjaga pandangan dan pikirannya dari hal-hal yang mengundang nafsu syahwat, si penata rambut mendadak jadi orang sholeh menjauhkan diri dari tindakan homoseksual, si tante girang betul-betul berhenti memelihara ‘daun muda’ malah dia kemudian aktif menggalang kelompok pengajian ibu-ibu dengan aktifitas sosial yang sibuk, si artis telah memakai jilbab, tidak mau lagi mengumbar aurat, dia sekarang memilih-milih peran membintangi film yang bermutu dan jauh dari adegan membuka ‘sekwilda’- sekitar wilayah dada. Pak Konglomerat terlihat makin giat berusaha dan berekspansi, namun satu hal, semua hasil keutungannya ternyata disalurkan kebeberapa yayasan sosial yang dia bentuk sendiri, yang bergerak di bidang bantuan bea siswa, anak terlantar, dakwah agama dan bencana alam, sedangkan dia sendiri menjalani hidup zuhud, sederhana dengan harta, rumah, pakaian secukupnya. Dan si petinju, dia tetap menjalani profesinya sebagai petinju, namun soal kalah menang bukan lagi menjadi beban pikirannya. Dia lebih berkonsentrasi untuk menempa dirinya sendiri agar tidak jadi bulan-bulanan lawannya, berlatih giat setiap hari, tidak kecewa kalau kalah dan tidak berbangga hati secara berlebihan kalau memperoleh kemenangan.

Mereka semua mendadak jadi ahli ibadah, rajin sholat, puasa, zakat dan hampir semuanya berhasil menunaikan ibadah haji. Mereka menjadi pribadi yang disenangi di lingkungannya, ramah, suka menolong, selalu aktif dalam kegiatan sosial, betul-betul menjadi rahmat bagi lingkungan. Pada akhir dua pertiga malam, mereka selalu bangun melakukan shalat tahajud, bersujud dihadapan Allah sedalam-dalamnya bahkan kerap diiringi oleh airmata yang mengalir, mereka berdo’a dengan penuh harap :” Yaa.. Allah, ijinkanlah kami ini menjadi hambamu yang patuh, berilah kami kekuatan untuk menghindari semua larangan-larangan-Mu, selamatkanlah kami dari kehidupan dunia yang menjerumuskan ini…dan limpahkanlah kepada kami surga-Mu, surga yang kami impikan……



demikianlah ilustrasi cerita yang ditulis oleh sdr Archa

Kisah diatas merupakan kisah “tentang impian beberapa Manusia” yang saya kutip dari artikel dari www.swaramuslim.net sebagai gambaran bahwa setiap manusia punya harapan dan dambaan yang ia harap untuk didapatkan tetapi ternyata kenikmatan-kenikmatan keduniawain tersebut menggambarkan secara jelas bahwa semua adalah kenikmatan tersebut kalau dinilai dari sudut pandang kedunawian adalah kenikmatan semu / fatamorgana!

Tetapi seperti apa gambaran Syurga menurut Islam?
Gambaran syurga didalam Islam sering digambarkan seperti apa yang diharapkan :orang-orang dalam kisah tersebut,yaitu :sungai yang mengalir,taman-taman yang indah,tentang bidadari dll

Seakan-akan gambaran syurga Islam bersifat Dunawiyah semata!
Sehingga sering dipersoalkan oleh mereka-kereka orang luar terutama oleh orang-orang Kristen,yang menurut mereka syurga Islam hanya bersifat memenuhi “kedagingan”semata!

Tetapi benarkah demikian?

Maka untuk menjawab tentang apa yang mereka persoalkan maka cara yang paling tepat adalah memahami Syurga menurut Islam secara utuh = tidak hanya memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadist tentang syurga tidak secara sepotong tetapi secara utuh!
Dan setidaknya di kisah diatas disinggung sedikit bahwa “gambaran Syurga menurut Islam “ adalah :

*** “Bagi mereka di dalam surga itu apa yang mereka kehendaki, sedang mereka kekal (di dalamnya). (Hal itu) adalah janji dari Tuhanmu yang patut dimohonkan (kepada-Nya)”…….****

jadi apa saja yang dikehendaki /diinginkan akan diberikan!

Apakah ia ingin seperti malaikat atau tidak ingin kawin dan dikawinkan (barangkali ada manusia yang ingin masuk syurga punya keinginan seperti itu ) akan dikabulkan.

Di dalam Islam jangankan hanya keinginan seperti Malaikat,sejak awal penciptaan Manusia sudah ditegaskan bahwa kedudukan “manusia justru lebih tinggi dari Malaikat”! karena tujuan manusia pertama diciptakan sangat jelas yaitu sebagai “khalifah” di Bumi!

Tetapi kedudukan lebih tinggi bagi manusia-manusia seperti kita dibutuhkan sebuah perjuangan /amal perbuatan dan keihklasan!

Dan keduanya harus seiring sejalan,karena punya perjuangan yang sungguh-sungguh tetapi tanpa didasari keihklasan maka perjuangan tersebut akan begitu mudahnya perjuangan tersebut dikotori oleh perjuangan-perjuangan yang menyimpang!

Dan keikhlasan tanpa disertai perjuangan sama juga O(kosong),karena Manusia sejak awal diciptakan sebagai khalifah,yang harus dinamis dalam melaksanakan kehidupan dan tidak statis,yang ia tidak berbuat apa-apa.

Tetapi kalau ia tidak mampu menjadi khalifah yang baik,bukan menjadi “pengelola dunia yang baik” maka kedudukannya jatuh ke derajat yang sangat rendah,bahkan kedudukannya lebih rendah dari pada binatang!

Dan Sang Pencipta tahu betul dengan “karakteristik ciptaannya” yaitu apa-apa yang ia dambakan agar bisa memotivasi mereka untuk senantiasa berjuang dengan dasar Ikhlas dan Ikhlas dalam perjuangan!

Jadi dalam memahami tentang “teks-teks” tentang syurga didalam Islam jangan hanya dipahami secara “tekstual .hurufiah” tetapi hendaknya dipahami betul kontekstual dan maknawiyah kata-kata di dalam ayat-ayat AL Qur’an maupun Hadist! Karena di ayat lain Al Qur’an maupun Hadist menjelaskan:

[56:60]Kami telah menentukan kematian diantara kamu dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan
[56:61] untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) DALAM KEADAAN YANG KAMU TIDAK KETAHUI.


jadi dalam hal ini bagaimana keadaan “manusia di akhirat nanti” tidak diketahui oleh Manusia =
belum pernah terlihat oleh mata. Terdengar oleh telinga dan terbayang dalam pikiran manusia!

Lalu bagaimana penejelasan-penjelasan ayat-ayat lain tentang keadaan syurga yang ada sungai mengaliur dibawahnya. Bidadari dll?

Semua itu adalah penjelasan untuk kadar kemampuan manusia dalam memahami tentang kenikmatan!

Maka bisa kita logikakan seperti menjelaskan “manfaat computer’ pada orang primitive!
Tentu saja penjelasannya menyesuaikan dengan kemampuan pikir obyek “yang dijelaskan”

Bukankah salah satu tujuan beragama ada untuk mendapatkan kenikmatan Abadi??
Bagaimana agar Manusia termotifasi untuk mendapatkannya??
Salahkah untuk memberi iming-iming agar manusia termotifasi mendapatkannya sesuai dengan :kenikmatan yang dipahami didunia??
Agar manusia bersemangat mendapatkannya??
Maka justru sangat konyol sekali kalau ada yang menilai “penjelasan-penjelasan “ tersebut di ukur dengan norma “keduniaan” sekarang!
Saya akan memberiilustrasi bahwa sebuah pekerjaan yang sama dilakukan waktu yang berbeda maka nilai pekerjaan tersebut berbeda nilainya!
Dan ilustrasi yang saya berikan tidak jauh dari “ilustrasi yang sering di permasalahkan” yaitu mengenai hubungan Intim antara laki-laki dan wanita!
Karena saya yakin yang aktif diforum ini orang-orang dewasa,jadi ilustrasi ini tidak akan disalah pahami!
1. Persoalan intim tersebut jangankan melakukan membicarakan saja termasuk tabu kalau yang berbicara adalah “anak yang belum cukup umur”
2 . orang yang sudah cukup umur dan punya pasangan, dan Ia melakukan hubungan tersebut tetapi hubungan tersebut belum di syahkan oleh agama yang diyakininya maka ia sudah berbuat Dosa besar = zina
3. orang yang sudah cukup umur dan sudah menikah tetapi ia berhubungan intim bukan dengan pasangan yang syah menurut keyakianannya maka sama saja berbuat dosa besar = zina
4. orang yang sudah cukup umur dan ia sudah punya pasangan tetap tetapi ia tidak mau menggauli pasangannya maka inipun juga telah berbuat dosa
5. orang yang sudah cukup umur dan berhubungan intim dengan pasangan yang syah maka itu sama sekali tidak dosa tetapi justru ia sedang melakukan salah satu kewajibannya sebagai suami istri.

Sekarang kita kaji secara ilmiah apakah berhubungan intim yang dilakukan suami istri yang syah dengan orang yang berhubungan intim yang dilakukan dengan pasangan yang bukan suami istri??
Adakah perbedaanya?
Tidak ada bukan??
Jadi kesimpulannya sesuatu tindakan /perbuatan tidak bisa dinilai secara generalisir = menilai apa yang terjadi “di akhirat” dengan ukuran dunia!
Itu sama saja menilai hubungan intim wanita suami istri yang syah dinilai dari sudut pandang / ukuran “orang yang belum menikah !
Jadi kalau ada orang yang mempersoalkan gambaran “syurga didalam Islam” di ukur dengan penilaian dunia alangkah konyolnya penilaian tersebut………………………
Justru kalau mau fair berdiskusi atau berharap akan mendapatkan “ kebenaran atau pencerahan “ maka alangkah baiknya kalau yang tidak setuju berani memberikan perbandingan dengan konsep Syurga menurut keyakinannya”
Kemudian tinggal terserah pembaca yang akan menilai Syurga yang mana yang membuat ia bersemangat untuk mendapatkannya…..

wassalam

romadi

menjawab soal nama Allah

0
menurut orang-orang "Kristen Radikal" informasi dari Robert morrey sangatlah bermanfaat untuk menyerang "ketuhanan islam",seperti mendapatkan sebuah amunisi.

tetapi orang-orang yang begitu bersemangat untuk memberikan tuduhan seperti itu tidak berfikir panjang,bahwa faktanya didalam Al kitab banyak sekali menggunakan "istilah Allah"

maka ada sebagian orang-orang Kristen yang meyakini bahwa nama Allah sebagai nama "dewa bulan" , dan melihat realita didalam al kitab menggunakan istilah Allah maka mereka melakukan perubahan / penggantian nama Allah diganti dengan nama YHWH.

maka persoalan ini saya akan menyampaikan pandangan/tanggapan / penjelasan nama Allah dari berbagai sudut "Intelektual" baik yang masih Kristen ataupun dari Intelektual Islam.

pertama dari orang Kristen:

Banyak pertanyaan diajukan mengenai 'Apakah Allah Islam sama dengan Allah Kristen?' dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa 'Allah Islam tidak sama dengan Allah Kristen' alasannya 'Karena ajaran keduanya berbeda!'. Pandangan ini tercermin dalam buku Dr. Robert Morey yang beredar bahkan dianut belakangan ini di kalangan tertentu di Indonesia:

"Islam claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible. This logically implies in the positive sense that the concept of God set forth in the Quran will correspond in all points to the concept of God found in the Bible. This also implies in the negative sense that if the Bible and the Quran have differing views of God, then Islam's claim is false." (Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57).

Definisi Morley ini memiliki kelemahan dasar berfikir yang fatal yang menganggap masalah-masalah teologi (ilmu sosial) bersifat eksakta dan mencampur adukkan pengertian soal 'identitas' dan 'opini' (meta basis). Dari dasar berfikir atau asumsi ini, maka dihasilkan kesimpulan bahwa (1) Bila Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep keduanya mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya secara negatif disebut bahwa (2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki pandangan berbeda mengenai Tuhan, maka klaim Islam adalah salah.

Pandangan yang terlalu sederhana ini dengan mudah bisa digugurkan bila kita mengambil contoh soal 'Suharto' mantan presiden ORBA. Menurut definisi Morley, bila Suharto yang dimaksudkan oleh para pengikut ORBA sama dengan Suharto yang di demo mahasiswa, maka konsep keduanya mengenai Suharto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya sekalipun Suhartonya sama konsep keduanya berbeda. Bagi para pengikut ORBA, Suharto adalah bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan mendatangkan kesatuan dan keamanan regional, padahal Suharto yang sama itu oleh para mahasiswa dianggap sebagai bapak pembangkrutan yang membawa kemiskinan karena KKN dan tiran yang membawa bangsa Indonesia kepada disintegrasi bangsa.

Mengapa berbeda? Dan kalau berbeda apakah klaim mahasiswa mengenai Suharto salah? Di sini kita berhubungan dengan dua soal yang tidak bisa dicampur adukkan satu dengan lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai pribadi (oknum) dengan namanya dan konsep orang (ajaran atau aqidah) mengenai oknum yang sama itu.

Soal yang sama terjadi dalam hubungan dengan pertanyaan mengenai apakah 'Allah Islam sama dengan Tuhan Kristen?'. Jawabannya perlu kita lihat dari Kitab Suci Islam (Al-Quran) maupun Kristen (Al-Kitab), dan juga sejarah bangsa dan bahasa Semit.

EL SEMIT
Faktanya, bila kita membandingkan agama Yahudi (Alkitab Perjanjian Lama), Kristen (Alkitab Perjanjian Lama dan Baru), dan Islam (Al-Quran), kita dapat melihat bahwa ada butir-butir yang sama, namun banyak butir-butir lainnya yang tidak sama (jadi bukan semua sama atau semua tidak sama).

Bila kita melihat Alkitab PL, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan 'El/Elohim' adalah pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya. Dan ia juga Tuhan yang menyatakan dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham, Ishak, dan Yakub. Agama Yahudi, Kristen dan Islam mempercayai itu semua, namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang dari El yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang dibukukan menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen menerima hal ini, agama Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan dalam Perjanjian Baru padahal Yahudi menolak.

"Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (kitab) yang diturunkan kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Y'qub dan anak-anaknya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan kepada Musa dan 'Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara mereka itu dan kami patuh kepada Allah" (Al-Quran, Al-Baqarah, 2:136, Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim).

Agama Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa, namun lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad dari jalur Ismael, dan menerima kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan Isa sejauh diterima oleh Muhammad yang dipercayai sebagai nabi, dan sekalipun menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena dianggap telah dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas hanya bila hal itu dikuatkan dalam Al-Quran.

Jadi, dari terang Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa sebagai oknum dengan namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan Kristen. Namun karena wahyu yang dipercayai berbeda, dengan sendirinya banyak pengajaran (aqidah)nya yang berbeda.

Agama Yahudi, kepercayaannya hanya bergantung kepada Perjanjian Lama, akibatnya mereka memandang Tuhan 'El' (yang sejak Musa diberi nama juga sebagai 'Yahweh' (Kel.6:1-2)) sebagai Tuhan monotheisme yang transenden dengan hukum Taurat sebagai pedoman, namun agama Kristen berbeda dan menerima kenyataan bahwa El Abraham itu juga telah menyatakan diri dalam oknum Yesus dalam ke-Tritunggalannya, dan hukum kasih/Injil menjadi pedomannya.

Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai Tuhan 'El' itu yang dalam dialek Arab disebut 'Allah' (dari al-ilah). Dalam bahasa Ibrani kata sandang 'the' ('al' dalam dialek Arab dan 'ha' dalam dialek Aram-Siria namun diletakkan di belakang menjadi 'alaha') tidak digunakan bila menyebut Tuhan.

Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak awalnya 'El' bisa memiliki arti umum sebagai sebutan untuk 'Tuhan/Ketuhanan' dan 'Elohim' sering digunakan dalam arti kata jamak (politheistik) dan dipakai oleh suku-suku keturunan Sem (menjadi rumpun Semit) dan karena perkembangan zaman sering merosot sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran aqidah, namun 'El/Il' juga digunakan untuk menyebut 'nama diri' Tuhan.

"'Ilu, El' sebagai sebutan untuk ketuhanan. Istilah 'il mempunyai arti sebutan umum (generic appelative) untuk menunjuk pada 'tuhan' atau 'ketuhanan' pada tahap awal semua cabang utama rumpun bahasa Semit. Ini terlihat jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialek-dialek sesaudara dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut sampai akhir masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit Barat Laut, di Amrit ('ilu, 'ilum, 'ila), di Ugarit, di Ibrani, dan umum di dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara digantikan dengan nama 'ilah. 'Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). … Di Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa 'Il' adalah nama diri tuhan … tuhan Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada rumpun Semit Mesopotamia pada masa Pra-Sargon." (G. Johanes Botterwech, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I, 242-244).

Dari sejarah ini kita dapat melihat bahwa 'Allah' di kalangan bangsa dan bahasa Arab tidak lain menunjuk pada 'El' Semit' yang sama, ini dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen maupun Ensiklopedia Islam bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek moyang yang semuanya mengenal 'El Abraham' yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan (keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham).

Bahwa ajaran/konsep mengenai 'Allah' (El) itu kemudian merosot dan makin tidak mendekati hakekat yang di'nama'kan dan ditujukan kepada pribadi lain seperti yang terjadi pada jalur Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas disebut 'Elohim' dan 'Yahweh') maupun jalur Ismael (masa jahiliah, dewa berhala disebut 'Allah'), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu sendiri sebagai menunjuk kepada 'El' semitik dan monotheisme Abraham. Namun, sekalipun diyakini bahwa 'Allah' Yahudi, Kristen dan Islam sama, tentu tidak disimpulkan bahwa Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian 'Universalisme' (pluralisme agama) disebutkan bahwa semua agama itu menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan yang berbeda (partikular).

Kita harus menyadari bahwa setidaknya ada 4 golongan agama, yaitu (1) 'Theisme' - Tuhan yang berpribadi (Yahudi, Kristen, Islam), (2) 'Monisme' - Tuhan kekuatan semesta (Hindu-Upanishad, Tao dan Kebatinan), (3) Non-Theis - Tuhan yang 'non-exist' (Buddhisme), dan (4) Demonisme - Tuhan Okultis (satanisme). Bisa juga dimasukkan 'politheisme' (Hindu-Veda) sebagai golongan ke-5.

Sudah jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun harus diakui bahwa Tuhan 'Theisme' (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan Semitik agama samawi yang berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut Tuhan Theisme Yahudi, Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun sekalipun ada yang sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme, Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama oknum maupun ajaran/aqidahnya.

Tetapi bagaimana dengan definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus dalam bahasa Inggeris? Disana disebutkan bahwa "Allah … Muslim's name for God" (a.l. Oxford Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita dapat membandingkan hal ini dengan definisi yang disebutkan dalam Enyclopaedia Britannica, yang sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah dalam penggunaannya di kalangan agama Islam sebagai salah satu artinya, dalam arti yang lain jelas memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan lebih mengandung kebenaran:

"Allah (Arabic:"God"), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, "the God." The name's origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for "God" and is used by Arab Christians as well as by Muslims."

Definisi yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dimana disebutkan bahwa: "ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam raya termasuk segala isinya". (Vol.I, h.270).

Memang dalam literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen kuat anti Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan memojokkan yang tidak ilmiah seperti ucapan Morley di atas yang memberi stigmata seakan-akan nama 'Allah' itu nama dewa/i masa jahiliah Arab seperti Dewa Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula literatur Barat yang lebih bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia Britannica dan umumnya kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama 'Allah' adalah nama dalam dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada 'El' Semitik, dan juga digunakan oleh orang Arab pra-Islam (terutama kaum Hanif yang tetap mempertahankan Allah monotheisme Abraham) maupun bangsa Arab yang menganut agama Yahudi dan Kristen:

"Karena Islam memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah, maka jahiliyah dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam, ibarat kegelapan sebelum terbit fajar. Pada zaman ini ajaran monotheisme Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem paganisme, dan diwarnai dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke Makkah dari berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga Arab pada saat itu menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat beberapa suku Arab memeluk agama Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat sejumlah pribadi yang menekuni dunia spiritual, mereka itu dinamakan 'hunafa' (tgl. hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di antara kedua agama tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran monotheisme Ibrahim". (Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah kata al-Jahiliah).

Kenyataan ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis beberapa abad sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut dalam buku Morley bahwa Alkitab dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX dan menggunakan nama Allah karena dipaksa orang Islam dan bandingkan dengan buku-buku yang bertema 'Asal bukan Allah' yang menganggap orang Islam tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama 'Allah'). Suatu pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab jauh sebelum ada agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama oleh umat Yahudi Arab, Kristen Arab dan bangsa Arab pra-Islam.

Namun, kalau 'El' (Ibrani) sama dengan 'Alaha' (Aram-Siria) dan 'Allah' (Arab), mengapa tidak memilih saja 'El/Elohim' yang merupakan bahasa aslinya?

Tuhan dalam menyebarkan firmannya menggunakan kendaraan bahasa-bahasa. Pada zaman Ezra, Alkitab Ibrani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Aram, dan sejak itu sampai abad ke-XIX bahasa Ibrani hanya digunakan dalam penulisan/penyalinan Kitab Suci saja. Ketika bahasa Yunani menguasai kawasan sekitar Laut Tengah, atas perintah imam besar di Yerusalem, Eliezer, Alkitab PL diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke bahasa Yunani (Septuaginta/LXX), inilah yang digunakan Yesus, para Rasul, umat Kristen dan dipakai juga di sinagoga-sinagoga. Demikian juga di hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri mengilhami para Rasul untuk mengkotbahkan firman (termasuk nama El/Theos) ke bahasa-bahasa pendengar, dalam arti kata penerjemahan nama Tuhan ke dalam bahasa-bahasa lokal didorong oleh Roh Tuhan/Kudus sendiri.

Berbeda dengan 'El' yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai 'Theos' dan bahasa Barat sebagai 'God, Gott, Dieu', maka nama 'Allah' (Arab) sebenarnya bukan terjemahan melainkan perkembangan dialek dalam rumpun Semit sendiri untuk menyebut El (di samping a.l. Alaha dalam bahasa Aram-Siria).

Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-XIII, Kristen Katolik baru masuk abad ke-XVI dan Protestan pada abad ke-XVII, ini berarti sudah tiga abad lebih dimana agama Islam dan bahasa Arab sudah merakyat di Indonesia, dan kemudian nama 'Allah' masuk menjadi kosa-kata bahasa Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia, ada banyak kosa-kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab (1.495, termasuk kata 'Allah'), Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280), maka adalah tepat bila kata yang sekarang menjadi kosa-kata Indonesia itu dipakai untuk menyebut El/Elohim Perjanjian Lama dan Theos Perjanjian Baru dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, karena kata itu bukan saja dekat tetapi termasuk keluarga serumpun Semit dengan bahasa Ibrani.

Salam kasih dari Herlianto/YBA.

kemudian bisa kita baca juga yang ini:

MENJAWAB HUJATAN PARA PENENTANG ALLAH DI DALAM ALKITAB

Baru-baru ini beberapa gereja-gereja dan segelintir umat Kristen diresahkan dengan terbitnya "Alkitab Eliezer ben Abraham" berjudul Kitab Suci Taurat dan Injil. Tidak kurang juga orang Kristen telah bingung dengan gerakan ini. Gerakan ini menuntut agar istilah Allah dalam Kitab Suci umat Kristian dihapuskan. Alasannya, nama Allah itu kononnya berasal dari "dewa air" yang mengairi bumi.

Saya sendiri sudah pernah menanggapi usul kontroversial ini dengan menggelar seminar yang menghadirkan pembicara Muslim dari IAIN Syarif Hidayatullah, Dr. Kautsar Azhari Noer.(1) Rekan Muslim saya ini menanggapi dengan kepala dingin, seraya mengatakan: "Itu hanya gerakan kaum awam yang tidak perlu ditanggapi.: Mengapa? Menurut Kautsar, "Setiap agama mengenal kontekstualisasi atau inkulturasi." Ya, memang dulu istilah Allah pernah dipakai di lingkungan orang-orang jahiliah sebelum zaman Islam. Tetapi Islam justru datang untuk mengubah makna teologis istilah itu.

SEKITAR PENYIMPANGAN NAMA YAHWEH DAN ALLAH

Setelah seminar tersebut, reaksi berdatangan dari pihak "penentang Allah". Bahkan terbit traktat baru yang khusus menanggapi makalah saya. Saya sendiri memutuskan untuk menghentikan polemik ini. Terus terang, amatlah sulit untuk sesiapa pun memahami "logika" kaum yang kurang cerdas itu.

Bayangkan saja, menurut mereka Allah sebenarnya adalah nama "dewa air." Yang menjadi dasar mereka adalah buku-buku sumber yang mereka kutip sepenggal-sepenggal dan lepas dari konteks. Saya pun membuktikan berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama Yahweh pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One God, One Lord; Christianity in a world of religious Pluralism, dalam bahasa Ibrani:

Birkatekem le-Yahweh syomron we le 'asyeratah

Yakni - Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)

Dengan fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan menggunakan nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan Palestina? Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya kemukakan itu tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab. Ya, maksud mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi dalam berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.

Nah, di sinilah terbukti ketidakadilan kaum penentang "Allah" dengan amat jelas! Mengapa? Sebab umat Islam tentu saja boleh bertanya balik, "Apakah Allah sebagai dewa air itu ada dalam Alquran?" Lalu, umat Islam pun mengajak kita untuk berargumentasi dan berdebat tanpa bukti sejarah. Cukup dengan ayat-ayat Al-Quran saja. Kalau begitu, jelas tidak ada sepotong ayat pun dalam Alquran yang menyebut Allah sebagai dewa air. Menurut Alquran, Allah adalah Pencipta langit dan bumi (Q.surah al-Jatsiyah 45:22, "Wa khadaq Allah as-samawati wa al-ardh").

Begitu juga, siapakah Allah itu bagi umat Kristen Arab? "Allah" - demikian menurut Buthros 'Abd al-Malik, dalam Qamus al-kitab al-Muqaddas - adalah "nama dari Ilah (sembahan) yang menciptakan segala yang ada" (hadza al-llah khalaq al-jami' al-kainat). (3)

Begitu juga, setiap umat Arab Kristen sebelum atau sesudah Islam mengawali mengucapkan Qanun al-Iman (syahadat Kristian) yang diawali dengan kalimat:

"Nu'minu bi-ilahun wahidun, Allah al-Ab al-dhabital kull, khalaqa as-sama'I wa al-ardh, kulla ma yura wa maa layuura"

yang bermaksud :

Kami percaya kepada satu-satunya sembahan/ilah, yaitu Allah Bapa, yang berkuasa atas segala sesuatu, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. (4)

Mengapa mreka menuduh bahwa Allah adalah "dewa air" berdasarkan sumber-sumber tulisan yang bukan Alquran, sementara mereka menolak data yang telah saya kemukakan tentang penyimpangan nama Yahwe, karena tidak ada dalam Alkitab?

Oleh karena itu, saya menyarankan agar belajar lebih banyak tentang sejarah kekristenan di Timur Tengah, tempat kekristenan mula-mulanya berkembang. Peranan filologi (ilmu perbandingan bahasa) juga sangat penting dalam memperkaya kajian ini, sebelum mereka begitu bersemangat menyebarkan pendapat yang jelas-jelas tidak ilmiah.

KATA ALLAH DAN PADANANNYA DALAM BAHASA IBRANI DAN ARAMI

Dalam menilai kata Allah, kita harus memahami bahwa kata itu serumpun dengan kata-kata bahasa Semitik yang lebih tua (yang dipakai di Timur Tengah: Ibrani dan Arami). Kata Allah itu cognate dengan kata Ibrani: El, Eloah, Elohim; dan kata Arami Elah, Alaha, yang semuanya terdapat dalam Perjanjian Lama ataupun dalam Targum (komentar-komentar Taurat dalam bahasa Arami yang lazim dibaca mulai dari zaman sebelum Al-Masih, zaman Sayidina Isa hingga hari ini).

Perlu anda ketahui, sebagian kecil Kitab Perjanjian Lama juga ditulis dalam bahasa Arami, yakni beberapa pasal Kitan Ezra dan juga beberapa pasal dari Daniel. Marilah kita baca dan cermati ayat-ayat yang menggunakan kata elah di bawah ini:

"Be Shum elah yisra'el ..."

Daniel 5 : 1, "Demi Nama Allah Israel."

"...di elahekon hu elah elahin, umara malekin

Daniel 2:47, "Sesungguhnya Elah-mu itu elah yang mengatasi segala elah dan berkuasa atas para raja.

Sedangkan bentuk Ibrani yang dekat dengan istilah Arami elah dan Arab ilah, al-ilah dan Allah adalah sebutan eloah, misalnya disebutkan:

"Eloah mi-Teman yavo we Qadosh me-Har Paran, Selah"

Yaitu Habakuk 3 : 3, yang bererti -

"Eloah akan datang dari negeri Teman, dan Yang Mahakudus dari pergunungan Paran, Sela."

Tetapi argumentasi ini pun segera ditanggapi dengan traktat mereka. Menurut mereka, istilah el, elohim, eloah (Ibrani) dan elah, alaha (Arami/Syriac) tidak sejajar dengan istilah Arab Allah berasal dari ilah (God, sembahan). Dengan awalan kata sandang di depannya Al (Inggris: the), makna the god, "sembahan yang itu". Maksudnya sembahan atau ilah yang benar.

"Laa ilaha ilallah". Tidak ada ilah selain Allah. Allah adalah satu-satunya ilah. Ungkapan Laa ilaha ilallah ini, dijumpai pula dalam Alkitab terjemahan bahasa Arab, 1 Korintus 8 : 4-6 berbunyi :

"... wa'an Laa ilaha ilallah al-ahad, ...faa lana ilahu wahidu wa huwa al-Abu iladzi minhu kullu sya'in wa ilahi narji'u, wa huwa rabbu wahidu wa huwa Yasu' al-Masihu iladzi bihi kullu syai'in wa bihi nahya"

Yakni maksudnya :

Dan sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, Yang Mahaesa ... dan bagi kita hanya ada satu ilah/sembahan yaitu Bapa, yang dari-Nya berasal segala sesuatu dan kepada-Nya kita akan kembali, dan hanya ada satu Rabb/Tuhan, yaitu Yesus Kristus yang melalui-Nya (sebagai Firman Allah) telah diciptakan segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup). (5)

Mereka begitu entengnya menanggapi hal ini. Menurut brosur mereka, istilah 'Allah' memang ada dalam Alkitab berbahasa Ibrani, tetapi artinya "sumpah" (1 Raj. 8:31; II Taw. 6:22). Mereka benar, tetapi mereka juga harus tahu, seperti kata Yahweh tidak turun dari langit. Demikian pula kata elohim, eloah, elah berasal dari akar kata tertentu. Menurut C.L. Schofield, istilah elah berasal dari akar kata el (Yang Maha kuat) dan alah (sumpah):

"to swear, to bind oneself by an oath, so implifying faithfullness." (6)

Jadi, di hadapan hadirat El (Yang Maha kuat) seseorang mengikat sumpah (alah). Dari kata El dan alah ini, kemudian terbentuklah kata elah. Sedangkan bentuk elohim, dengan akhiran im menunjukkan jamak untuk menekankan kebesaran (pluralis maestaticus). Oleh para pujangga gereja kata tersebut ditafsirkan secara alegoris sebagai bukti dari sifat ketritunggalan Allah. Karena itu, sangat gegabah untuk menolak fakta keserumpunan antara Arab dengan bahasa Ibrani dan Aram, hanya dengan argumentasi dangkal seperti ini.

Kata alah (dengan satu "l") memang ada dalam bahasa Ibrani yang berarti "sumpah, kutuk". Berbeda dengan bahasa Arab allah (dengan dua huruf "L"). Dua huruf "l" (lam) yang dalam istilah Allah menunjukkan asal-usulnya dari kata sandang Al (the) dan ilah (god) seperti dikemukakan di atas. (7)

ISTILAH ALLAH DI LINGKUNGAN KRISTIAN SYRIA PRA-ISLAM

Seperti istilah Yahweh pernah dipuja secara salah di sekitar wilayah Samaria, terbukti dari inskripsi Kuntilet Ajrud dan Khirbet el-Qom, demikian juga istilah Allah disalahgunakan di sekitar Mekkah sebelum zaman Islam. Tetapi istilah Allah dipakai sebagai sebutan bagi Khaliq langit dan bumi oleh orang-orang Kristen Arab di wilayah Syria. Hal ini dibuktikan dari sejumlah inskripsi Arab pra-Islam yang semuanya ternyata berasal dari lingkungan Kristen.

Salah satu inskripsi kuno yang ditemukan pada tahun 1881 di kota Zabad, sebelah tenggara kota Allepo (Arab: Halab), sebuah kota di Syria sekarang, meneguhkan dalil tersebut. Inskripsi Zabad ini telah dibuktikan tanggalnya berasal dari azman sebelum Islam, tepatnya tahun 512. Menariknya, inskripsi ini diawali dengan perkataan Bism-al-lah, "Dengan Nama al-lah" (bentuk singkatnya: Bismillah, "Dengan Nama Allah"), dan kemudian diusul dengan nama-nama orang Kristen Syria. Bunyi lengkap inskripsi Arab Kristen ini dapat direkonstruksi sebagai berikut:

"Bism' al-lah: Serjius bar 'Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Serjius bar Sa'd wa Sitr wa Sahuraih"

terjemahannya :

- Dengan Nama Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mat al-Qais, Sergius putra Sa'ad, Sitr dan Shauraih. (8)

Menurut Yasin Hamid al-Safadi, dalam The Islamic Calligraphy, inskripsi pra-Islam lainya yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad ke-6 Masehi, membuktikan bahwa berbeda dengan yang terjadi di Arab selatan, di sekitar Syria nama 'Allah' disembah secara benar. Inskripsi Ummul Jimmal diawali dengan kata-kata Allah ghafran (Allah mengampuni). (9)

Bahkan menurut Spencer Trimingham, dalam bukunya Christianity among the Arabs in the pre-Islamic Times, membuktikan bahwa pada tahun yang sama dengan diadakannya Majma' (Konsili) Efesus (431), di wilayah suku Arab Hartis (Yunani: Aretas ) dipimpin seorang uskup yang bernama 'Abd Allah (Hamba Allah). (10)

Dari bukti-bukti arkeologis ini, jelas bahwa sebutan Allah sudah dipakai di lingkungan Kristen sebelum zaman Islam yang dimaknai sebagai sebutan bagi Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi.

PENGGUNAAN BAHASA IBRANI, YUNANI DAN ARAMI PADA ZAMAN YESUS

Cukup mengherankan bahwa "para penentang Allah" itu selalu menggunakan Ha B'rit ha-Hadasah (Perjanjian Baru bahasa Ibrani) dan memperlakukannya seolah-olah itulah teks bahasa aslinya. Dalam Perjanjian Baru berbahasa Ibrani ini tentu saja kita akan menjumpai nama Yahwe. Tetapi Perjanjian Baru berbahasa Ibrani itu adalah hasil terjemahan dari bahasa Yunani. Penerjemahan dilakukan oleh United Bible Society in Israel, baru pada tahun 1970-an.

Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani Koine dan para rasul Yesus tidak mempertahankan nama diri Yahwe. Saya setuju bahwa Yesus ketika masuk ke sinagoge, Baginda mengutip teks-teks Perjanjian Lama dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-19). Namun, kita juga harus paham bahwa Baginda juga telah bercakap-cakap dalam bahasa Arami dengan murid-murid-Nya sebagai "bahasa ibunda" masyarakat Yahudi pada zaman intu.

Penulisan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani karena bahasa ini menjadi bahasa yang paling luas digunakan di seluruh wilayah kekaisaran Romawi pada zaman itu. Meskipun demikian, Perjanjian Baru Yunani itu tidak dapat dipahami tanpa melihat latar belakang budaya Arami. (11) Oleh karena kitab ini masih memelihara beberapa ungkapan Arami - yang waktu itu juga biasa disebut Ibrani - sebab dianggap sebagai salah satu dialek tutur saja bagi masyrakat Yahudi di Galilea. Beberapa contoh kata Arami yang dipelihara itu, antara lain: Talita Kum (Mark 5 : 41), Gabbata (Yohanes 19 : 13), Maranatha (1 Korintus 16 : 23).

Salah satu bukti bahwa Yesus membaca Targum berbahasa Arami, di mana kata Alaha (yang cognate dengan bentuk Ibrani: Eloah, dan Arab: Allah) adalah ungkapan Yesus dalam Markus 15:33, Elohi, Elohi, l'mah sh'vaktani. Sebab dalam teks Mazmur 22:2 bahasa Ibraninya: Eli, Eli lamah 'azvatani. Selanjutnya, apabila bahasa asli Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani dan para rasul tidak mempertahankan nama Yahwe, lalu apa pula dasar dan alasan mereka mati-matian mempertahankannya?

Para rasul penulis Perjanjian Baru menterjemahkan Kyrios (Tuhan) sebagai kata ganti Yahwe. Sebut satu contoh saja, misalnya Haddebarim/ Ulangan 6 : 4 dalam bahasa asli (Ibrani):

"Syema Ysrael, Adonai Elohenu, Adonay Ehad".

Kutipan ayat ini ditemukan dalam Markus 12 : 29, di mana nama Yahwe diterjemahkan Kyrios - Tuhan, mengikut terjemahan Yunani Septuaginta:

"Akoue, Israel, Kurios ho theos hemin, kurios eis esti"

- Dengarlah wahai Israel, Kurios (Tuhan) itu Theos/Allah kita, Kurios/Tuhan itu Esa.

Jadi, sekali lagi Markus sang penulis Injil pun tidak mempertahankan nama Yahwe. Lalu, apakah mereka berani berkata bahwa seluruh penulis Perjanjian Baru itu adalah salah?

Dalam bahasa Ibrani istilah "Nama" juga tidak bisa dipahami secara harfiah seperti nama-nama: Suharto, Suradi, Marsudi, Wan, Ngah dan sebagainya. Dalam hal ini anda harus bedakan antara "nama" (yang berasal dari bahasa manusia yang dibatasi oleh konteks ruang dan waktu) dengan "Dia yang dinamakan" (Yang Absolute, tidak terbatas, tidak terhingga). "Nama" dalam teologi Yahudi lebih menunjuk kepada "Kuasa di balik Ia yang di-Nama-kan". Karena itu, orang-orang Yahudi hanya mempertahankan tetagramaton (keempat huruf suci: y h w h), tetapi tidak membacanya dalam tradisi lisan. Kata itu sudah lazim dibaca dengan: Adonay (Tuhanku) atau Ha-Shem ("the Name", Sang Nama).

Silakan mereka memeriksa tradisi Yahudi ini, misalnya literatur Yahudi: Humasah Hunasy Torah 'im Targum Onqelos, (12) berbahasa Ibrani dan Arami yang lazim dipakai pemeluk Yahudi hingga zaman sekarang ini.

Kesimpulan saya, apabila kita menolak usulan para "penentang Allah" itu, bukan sekadar menimbang manfaat atau mudaratnya saja. Manfaatnya jelas tidak ada sama sekali. Mudaratnya jelas tidak hanya membingungkan umat Kristiani, tetapi telah membuka "barisan permusuhan" dengan umat Islam. Yang lebih penting lagi, tidak ada gunanya berdialog dengan orang-orang yang memang tidak memenuhi standard berpikir ilmiah itu. "Tetapi mereka menghujat segala sesuatu yang tidak mereka ketahui," demikian Yudas 1:10, dan lanjutan ayat ini saya tidak tega untuk menuliskannya di sini.


Nota-nota dan Referensi

Majalah DR, "Ketika Allah diperdebatkan", 9-14 Ogos 1999.
Andrew D. Clarcke dan Bruce W.Winters (ed.), Satu Allah satu Tuhan: Tinjauan Alkitab tentang Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm.50
Buthros 'Abd al-Malik (ed.), Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Jami' al-Kana'is fii al-Syarif al-Adniy, 1981), hlm.107
Al-Qamas Isodorus al-Baramus, Al-Ajabiyat: shalawat As-Sa'at wa Ruh al-Tashra'at (Kairo: Maktabah Mar Jurjis al-Syaikulaniy Syabra, 1996), hlm. 79.
"Risalat Bulus ar-Rasul ila Ahl Kurinthus al-Awwal 8 : 4-6", dalam al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Dar al-Kitab al-Muqaddas fii al-Syariq al-Ausath, 1992).
Rev. C.I. Schofield (ed.), Holy Bible, Schofield Reference (London: Oxford University Press, 1945), hlm.3
Kita lihat bahwa Allah itu Al-nya merupakan hamzah washl. Kerana itu menjadi wallahi, billahi dan sebagainya. Itu berarti kata Allah bukan merupakan akar kata yang asli. Sebab akar kata yang asli pasti menggunakan hamzah qath'. Lihat: Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm.262.
Bacaan Bism al-lah (Dengan Nama Allah) berasal dari Yasin Hamid al-Safadi, Kaligrafi Islam. Alih Bahasa: Abdul Hadi WM (Jakarta: PT. Panca Simpati, 1986), hlm. 6. Sedangkan M.A. Kugener, Note sur l'inscription triligue de Zebed (1907) seperti dikutip Spencer Trimingham Christianity Among the Arabs in pre Islamic Times (London-Beirut: Longman-Librairie du Liban, 1979), hlm. 226, membacanya "Teym al-Ilah".
Jadi, sebagai nama diri yang diusul oleh nama-nama lainnya, bukan sebagai bunyi sebuah doa. Tetapi apa pun bunyi yang paling tepat dari awal inskripsi itu, yang jelas kata al-llah, Allah sudah dipakai dalam makna Tauhid Kristen, dan bukan dalam makna dewa berhala yaitu pagan.
Yasin Hamid al-Safadi, Loc.Cit
Spencer Trimingham, Op. Cit. Hlm. 74
Matthew Black, An Aramaic Approach to the Gospels and Acts (Oxford: At the Calrendon Press, 1967).
Rabbi Nosson Scherman-Rabbi Meir Zlotowitz (ed.), Humasah Humasy Torah 'im Targum Onqelos (Brooklyn: Mesorah Publications, Ltd. 1993), hlm.xxvi. Selanjutnya, mengenai Nama (dan nama-nama) Allah, cf. "Parashas Shemos", hlm.304-305.

point yang penting dari penjelasan tersebut
1. Tuhan yang disembah orang Islam sama dengan yang di sembah para nabi dan pengikutnya ,sebelum kenabian nabi Muhammad

2. bahwa Nama YHWH pernah disimpangkan,

seperti yang tertulis:

"Saya pun membuktikan berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama Yahweh pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One God, One Lord; Christianity in a world of religious Pluralism, dalam bahasa Ibrani:

Birkatekem le-Yahweh syomron we le 'asyeratah

Yakni - Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)

Dengan fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan menggunakan nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan Palestina? Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya kemukakan itu tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab. Ya, maksud mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi dalam berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab."



kemudian dari penjelasan intelektual yang sebelumnya adalah intelektual Kristen,yaitu Jerald f dirk

Penggunaan kata Allah yang berarti Tuhan sering kali terdengar agak aneh, esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa Semitik, dan istilah Arab Allah atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti Tuhan.1 El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau Sang Tuhan.2 Ia adalah kata bahasa Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan Tuhan. Karena itu, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah konsisten, bukan hanya dengan Al-Qur'an dan tradisi Islam, tetapi juga dengan tradisi-tradisi-biblikal yang tertua.

Persamaan mendasar antara istilah Arab al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan istilah Ibrani El-Elohim bisa dipahami secara lebih jelas jika kita memerhatikan abjad bahasa Arab dan Ibrani. Baik bahasa Arab maupun Ibrani sama-sama tidak memiliki huruf untuk bunyi vokal. Abjad kedua bahasa tersebut hanya terdiri dari konsonan, dan keduanya bersandar pada penandaan sebagai bunyi vokal yang secara khas ditemukan hanya dalam tulisan formal sebagai satu petunjuk pengucapan. Transliterasi bahasa Indonesia dari istilah Arab al-Ilah dan istilah Ibrani El-Elohim telah memasukkan penandaan-penandaan vokal ini. Jika kita harus menghilangkan transliterasi Indonesia berupa penandaan-penandaan vokal ini, maka istilah Arab tersebut menjadi al-Ilh dan istilah Ibrani di atas menjadi El-Elhm. Jika kita harus menghilangkan bentuk jamak, yang hanya ditemukan dalam bahasa Ibrani, maka istilah Arabnya tetap al-Ilh, sementara istilah Ibraninya menjadi El-Elh. Akhirnya, jika kita harus melakukan transliterasi atas seluruh "alif" dalam bahasa Arab sebagai "a", dan seluruh "alif" dalam bahasa Ibrani sebagai "a" juga, maka istilah Arabnya menjadi Al-Alh, dan istilah Ibraninyapun menjadi Al-Alh. Dengan kata lain, dengan pengecualian tunggal bahwa bahasa Ibrani menggunakan bentuk jamak, al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan El-Elohim, istilah Ibrani yang diterjemahkan sebagai Tuhan dalam Perjanjian Lama, benar-benar merupakan istilah yang sama sekali identik dalam bahasa Arab dan Ibrani, dua bahasa yang memiliki hubungan sangat erat.



kemudian dari kalangan "ulama islam"
soal keunikan nama Allah, saya akan menyampaikan dari sumber tulisan orang/ulama Islam.
Kata ‘Allah’ merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apabila anda berkata :”Allah..”, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila anda mengucapkan nama-nama-Nya yang lain – misalnya ‘ar-Rahmaan’, ‘al-Malik’ dan sebagainya – maka ia hanya menggambarkan sifat Rahman, atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi lain, tidak satupun dapat dinamakan Allah, baik secara hakikat maupun secara majazi, sedangkan sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum – dapat dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Bukankah kita dapat menamakan si Ali yang pengasih sebagai ‘Rahiim’?, atau Ahmad yang berpengetahuan sebagai ‘Aliim’?. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri yang menamakan dirinya Allah.

14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (Thaahaa). Innanii = sesungguhnya Aku, anaa = Aku, Allaahu = Allah, laa ilaaha = tidak ada tuhan, illaa = melainkan, ana = Aku…

Dia juga dalam Al-Qur’an yang bertanya :”hal ta’lamu lahuu samiyyaa..” (Surat Maryam ayat 19). Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Al-Qur’an bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini..?” atau :”Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu (Allah)?” atau bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih agung dari nama ini?”, juga dapat berarti :”Apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”

Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini kesemuanya benar, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak boleh. Hanya Dia yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu.

Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’, yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’ merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah’. Dalam Bahasa Inggeris, baik yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan ‘god’, demikian juga dalam Bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan ‘tuhan’, tapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis dengan huruf kecil ‘god/tuhan’, dan yang bermakna khusus ditulis dengan huruf besar ‘God/Tuhan’.

‘Alif’ dan ‘Laam’ yang dibubuhkan pada kata ‘Ilaah’ berfungsi menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘The’ dalam bahasa Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi menjadi ‘ma’rifat’ atau ‘definite’ (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (aliihah/bentuk jamak dari ilaah) yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan alasan mempermudah, ‘hamzah’ yang berada antara dua ‘laam’ yang dibaca ‘i’ pada kata ‘al-Ilaah’ tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi ‘Allah’ dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata ‘Allah’ menjadi nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.

Sementara ulama berpendapat bahwa kata ‘Ilaah’ yang darinya terbentuk kata ‘Allah’ berakar dari kata ‘al-Ilaahah’, ‘al-Uluuhah’ dan ‘al-Uluuhiyyah’ yang kesemuanya menurut mereka bermakna ‘ibadah/penyembahan’, sehingga ‘Allah’ secara harfiah bermakna ‘Yang Disembah’. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari kata ‘Alaha’ dalam arti ‘mengherankan’ atau ‘menakjubkan’ karena segala perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya akan mengherankan akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang Maha Agung itu. Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat yang menyatakan :”Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir tentangZat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ terambil dari akar kata ‘Aliiha Ya’lahuu” yang berarti ‘tenang’, karena hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’ karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua makhluk bermohon.

Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah dan kepadanya tertuju harapan dan permohonan lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu berarti bahwa kata ‘Ilaah’ – dan juga ‘Allah’ – secara harfiah bermakna demikian..? , dapat dipertanyakan apakah bahasa atau Al-Qur’an yang menggunakannya untuk makna ‘yang disembah’?. Kalau anda menemukan semua kata ‘Ilaah’ dalam Al-Qur’an, niscaya akan anda temukan bahwa kata itu lebih dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau dalam genggaman-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini demikian, ada yang salah pilih ‘ilaah’nya.

Kata ‘Allah’ mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya, sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai ‘Ismu-Ilaah al-A’zham (Nama Allah yang paling mulia). Yang bila diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata ‘Allah’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lilaah’ dalam arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lilaah’, itu akan terbaca ‘Laahu’ dalam arti ‘bagi-Nya’, selanjutnya, hapus lagi huruf awal dari ‘Laahu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Huu’, yang berarti ‘Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan, tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia, sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu bukti adanya ‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa sikap orang-orang musyrik adalah :

38. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". (Az Zumar)

dari segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut, karena itu jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan menggantinya dengan nama-nama-Nya yang lain.

Demikianlah Allah, karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, karena itu setiap perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama itu, nama Allah. Rasulullah bahkan mengajarkan lebih rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah, tutuplah periukmu dan sebutlan nama Allah, rapatkanlah kendi airmu dan sebutlah nama Allah…”

Tafsir al-Mishbah buku 1
M.Quraish Shihab

kesimpulannya:

1. tuduhan-tuduhan bahwa Tuhan Islam berbeda dengan Tuhan para nabi terdahulu (Ibrahim/Abraham,Musa dll) sama sekali tidak berdasarkan argumentasi yang kuat tetapi sangat kental karena kebencian dan kedengkian

2. kalau di temukannya "arkheologis" tentang nama Allah di gunakan para "penyembah dewa bulan", itu adalah bukti penyimpangan manusia pada jaman sebelum Islam,dari ajaran nenek moyangnya terdahulu (Ibrahim,Ismail)

3. nama Yhwh juga pernah di simpangkan....